INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DALAM AL-QUR’AN

INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DALAM AL-QUR’AN

zuhal-ristek-paper-integrasi

1.    Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan mengakibatkan gagasan tentang agama dan Tuhan dipertanyakan, yang kemudian tumbuh menjadi faham sekularisme. Kultur ilmiah yang berkembang dari faham ini telah mengakibatkan perhatian manusia bertumpu pada permasalahan material dan dunia fisik belaka. Manusia modern mulai merasakan kehampaannya, sampai kemudian tumbuh kesadaran untuk mempertemukan kembali sains dan agama. Akhir-akhir ini berkembang berbagai literature yang menjajagi kembali hubungan antara keduanya. Di Library of Congress tercatat tidak kurang dari 211 judul buku pada tahun 1990-an yang berjudul “Religion and Science”. Meningkat tiga kali lipat dari tahun 1950-an yang hanya menghasilkan 71 judul. (Barbour 2000).

2.    Pada abad ke-20 yang baru kita lalui ini, interaksi agama dan sains telah berproses melalui berbagai bentuk, penemuan baru dibidang sains merupakan tantangan bagi doktrin-doktrin klasik agama. Namun dipihak lain, banyak orang saat ini yang ingin melihat dan mencari partnership yang lebih konstruktif di antara keduanya. Mereka ingin mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar yang justru muncul akibat temuan-temuan sains baru itu sendiri. Mengapa harus terjadi Big Bang? Apakah evolusi itu merupakan cara Tuhan untuk mencipta? Apakah gen menentukan takdir kita? Apakah itu merupakan produk dari Intelligent Design? Para ahli agama dan ilmuan bersama-sama ingin mencoba mencari jawaban holistiknya?

3.    Konsep Islam tentang ilmu dalam arti yang luas bertitik tolak dari pandangan al-Qur’an bahwa:

1.    Ilmu hanya berasal dari Tuhan (Surah al-Baqarah (2): 31-32, Surah al-‘Alaq (96): 1-5)

Dengan ilmu manusia berpotensi menjadi khalifah di muka bumi (Surah al-Baqarah (2): 30)
Ilmu befungsi untuk mengenal Tuhan
“Dan (mereka) memikirkan penciptaan langit dan bumi seraya berkata “Tuhan, tidakkah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia” (Surah Ali ‘Imrān (3): 191)

4.    Terdapat lebih dari 750 ayat al-Qur’an yang secara khusus menggambarkan peran sains dalam mengenal Tuhan. Gulshani, M. Ph.D membaginya dalam beberapa kategori antara lain:

(a) Ayat-ayat yang menyuruh manusia untuk menyingkapkan asal-usulnya serta penciptaan obyek-obyek material antara lain: Surah ath-Thāriq (86): 5, Surah al-An’ām (6): 2, Surah al-Nûr (24): 45, Surah al-Mu’minûn (23): 12-14, Surah al-Anbiyā’ (21): 30, Surah Fushshilat (41) :11, Surah Luqmān (31) :10

(b) Ayat-ayat yang menyuruh untuk meneliti bagaimana alam fisis ini terwujud Surah al-‘Ankabût (29): 19-20

(c) Ayat-ayat yang menyuruh untuk mempelajari fenomena alam (Surah Az-Zumar (39): 21, Surah al-Rûm (30): 48, Surah al-Baqarah (2): 164)

(d) Ayat-ayat yang menekankan kelangsungan dan keteraturan penciptaan Tuhan (Surah An-Naml (27): 88, Surah al-Mulk (67): 3-4, Surah al-Furqān (25): 2, Surah az-Zumar (39): 5, Surah al-Anbiyā’ (21): 16)

5.    Dengan demikian konsep ilmu dalam perspektif al-Qur’an bukan semata-mata merupakan produk akal manusia, tetapi merupakan prinsip yang memiliki asal-usul ke-Tuhanan. Ilmu-ilmu tradisional sebelumnya seperti Brahmanas-India, Taoisme-Cina, Hermetisme-Mesir Kuno dan bahkan konsep ilmu yang berasal dari falsafah Plato dan Aristoteles; juga memandang ilmu sebagai suatu kesatuan utuh yang melingkupi aspek spriritual. Perbedaan utamanya terletak pada kenyataan bahwa ayat-ayat al-Qur’an tentang fenomena alam didasarkan pada metodologi empiris dan bahasa ilmiah yang bersifat modern sedangkan pada ilmu-ilmu tradisional timur pandangan holistik lebih bersifat mistik yang dicapai melalui meditasi.

6.    Ilmu modern sekuler yang berpijak pada keabsahan klaim kognitif sains menjelaskan semua fenomena alam fisik lewat hukum-hukum fisika – menuju matematika – dan akhirnya logika. Ajaran al-Qur’an selain mengakui keabsahan metodologi ilmiah itu, ia sekaligus meletakkan dasar-dasar klaim kognitif agama, sehingga diperoleh pemahaman ilmu secara integratif yang bersifat holistik.

7.  Bahasa logis dan rasional yang diungkapkan al-Qur’an, diakui oleh sarjana-sarjana Barat semisal orientalis Itali, Assendro Baussant, dan sejarawan Marxisme, J.D. Bernal yang menyatakan bahwa ilmu dalam perspektif Islam adalah sangat logis, rasional dan empiris seperti ilmu modern. Karena sifat rasional, logis, dan non-mitologis yang dimilikinya itu, maka ia bernilai lebih besar bagi pemikiran modern.

8.  Memang beberapa sarjana Barat seperti Fritjof Capra dengan sangat baik berhasil memadukan Holisme Teori Kuantum dengan Mistisisme Timur sehingga sebuah visi tentang pandangan dunia yang di dalamnya terdapat harmoni antara sains modern dengan tujuan-tujuan spiritual dapat diselaraskan. Namun karena ilmu-ilmu Timur yang dimiliki Hinduisme dan Taoisme itu menggunakan bahasa mistis melalui medium meditasi, maka ia kurang berperan dalam memadukan level spiritual ilmu-ilmu tradisional dengan level material ilmu-ilmu modern.

Dengan bahasa logis dan rasional Al-Qur’an, yang merupakan kekuatannya, maka ia telah menunjukkan peran sebagai jembatan yang mengintegrasikan aspek spiritual ke dalam perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan modern.

9.    Pandangan manusia terhadap ilmu pengetahuan dalam melihat alam semesta, menimbulkan berbagai pendapat tentang apa sebenarnya realitas itu? Apakah kita dapat memahami realitas secara utuh atau hanya sebatas mengetahui saja. Memang representasi kita tentang realitas terasa sangat mudah dimengerti ketimbang realitas itu sendiri. Pendekatan ilmiah dalam memahami realitas mengikuti tahap-tahap sebagai berikut:

a.        Dari observasi fenomena fisik dimulailah kegiatan eksperimen ilmiah dengan menerapkan hukum-hukum fisika.

b.        Kemudian dikembangkan model matematika untuk menemukan teori yang dibangun dari logika ilmiah itu.

c.         Akhirnya logika ilmiah tadi dituangkan dalam bentuk bahasa biasa yang bisa dimengerti.

Metafor dengan menggunakan digital komputer dapat menjelaskan penyederhanaan pandangan tentang realitas. Alam semesta dikodekan dengan sejumlah angka biner (0 dan 1) dan kemudian disimulasikan dalam suatu rangkaian besar CPU (Central Processing Unit) yang pada akhirnya melalui proses urai sandi (decoding) diperoleh pesan tentang fenomena fisik yang dianggap merepresentasikan realitas. Oleh karena itu Borr beranggapan : “Adalah tidak benar bahwa tujuan ilmu fisika adalah untuk menemukan alam ini, ia hanyalah berurusan dengan apa yang dapat kita katakan tentang alam ini”

10.Teori Kuantum yang merupakan titik tolak perubahan ilmu pengetahuan model Abad Pertengahan (Filosofi Mekanik Newton) menuju ilmu pengetahuan modern abad ke20-an telah berkembang dengan ciri-ciri paradigma sebagai berikut:

a.    Adanya masalah “ketidakpastian”(uncertainty) sebagai suatu yang fundamental dan inheren.

b.    Adanya pembagian dunia fisik ke dalam sistem yang diobservasi (‘obyek’) dan sistem yang meng-observasi (‘subyek’). ‘Obyek’ selalu bersifat relatif dan tidak pernah dapat diprediksi secara pasti oleh ‘subyek’.

c.    Adanya keterkaitan essensial dari alam semesta secara keseluruhan, alam semesta tidak dapat direduksi menjadi bagian-bagian. Dan akhirnya, ini menunjukkan adanya keterbatasan ilmu (limits of knowledge).

11.Teori kuantum Heisenberg telah meruntuhkan asumsi kita tentang realitas karena mengakui adanya ketidakpastian (uncertainty) yang inheren dalam memprediksi peristiwa-peristiwa dunia. Lebih dari itu dunia kuantum tidak pernah mengetahui sesuatu melalui sesuatu itu sendiri, tetapi melalui interaksi sesuatu itu dengan pengamat lainnya. Dan ini sesuai dengan pandangan agama-agama samawi dan mistisisme timur yang percaya akan adanya kesatuan fundamental segala sesuatu.

a.    Tetapi, pandangan Holistik-Indeterminisme Kosmologis Stephen Hawking, James Hartle dan Carl Sagan juga telah melahirkan pandangan materialisme ilmiah ateistik tentang adanya azas kebetulan dari kejadian alam, asal-usul kehidupan dan asal-usul manusia. Tentu saja pandangan ini bertentangan dengan pandangan para pendukung konsep Creation yang menganggap bahwa semua fenomena ini dirancang dan diciptakan Tuhan untuk tujuan tertentu.

b.    Azas acak tanpa tujuan dan adanya seleksi alam di dalam peningkatan kompleksitas organism yang berkembang dari teori Darwin, sering pula diinterpretasikan secara ekstrim oleh para penganut indeterminisme biologis seperti Richard Dawkins dan Michael Ruse. Mereka cenderung menerangkan fenomena itu bukan semata-mata dari fenomena biologi tetapi sekaligus mencakup penerapan prinsip seleksi alam pada fenomena budaya termasuk agama dan moralitas. Bagi mereka moralitas manusia bersifat biologis dan bukan kultural apalagi spiritual.

12. Dari perbedaan-perbedaan interpretasi itu, kita dapat membedakan 3 (tiga) kategori ilmuwan dalam memandang hubungan antara sains dan agama yaitu:

1)   Pendekatan Konflik, yang mempertentangkan pendekatan agama yang berdasarkan Iman (percaya) dengan pendekatan ilmiah yang berdasarkan azas empiris-matematis-logis.

2)   Pendekatan Independensi, yang memisahkan penafsiran sains yang berurusan dengan fakta tentang deskripsi mengenai alam, dengan urusan agama yang mencari jawaban atas nilai-nilai, tujuan dan makna kehidupan manusia.

3)   Pendekatan Integrasi, yang berdiri di atas dua premis dasar penting, yaitu keabsahan klaim kognetif sains, dan sekaligus klaim kognetif agama. Pendekatan ini menganggap sains maupun agama bersama-sama dapat memberikan pengetahuan atau deskripsi tentang alam. Pendekatan ini mensyaratkan adanya dialog timbal balik yang terus-menerus antara perkembangan sains dengan pemahaman kognetif agama.

Perlu ditekankan bahwa pendekatan ini, tidak dimaksudkan sebagai upaya apologis untuk pembenaran doktrin-doktrin agama melalui temuan-temuan sains.

13. Dialog antara sains dan agama dalam menjawab issu-issu kontemporer antara lain dapat tergambarkan:

(a). Mengapa Harus Terjadi Big Bang?

Para ahli astrofisika masa kini percaya dengan sebuah hipotesa yang menyatakan bahwa alam semesta beserta seluruh isinya berawal dari ledakan dahsyat bola api kecil vang terjadi sekitar 15 milyar tahun yang lalu. Ledakan bola panas yang sangat padat itu mengalami proses pendinginan, yang kemudian menghasilkan atom‑atom pembentuk benda‑benda alam termasuk organisme hidup. Peristiwa Big Bang pada prinsipnya menjelaskan bagaimana energi dan materi beserta ruang dan waktu keluar dengan kekuatan yang amat dahsyat dari satu titik singularitas yang sangat panas dan amat rapat densitasnya. Itulah awal berlakunya hukum‑hukum fisika.

Namun bagaimana kita menjelaskan awal dari semua ini, saat hukum fisika itu muncul untuk pertama kalinya. Pihak agama melihat peristiwa Big Bang sebagai momen terjadinya penciptaan dan awal dari wujud waktu. Meskipun ada ilmuwan yang berpendapat bahwa alam semesta ini adalah sesuatu yang tidak berawal (eternal) dan semata‑mata merupakan akibat dari adanya interaksi hukum‑hukum alam, namun peristiwa Big Bang menunjukkan bahwa pada saat t = 0, terjadi singularitas dimana hukum‑hukum fisika tidak berlaku, sesuatu yang muncul dari titik yang tidak berdimensi dan tidak terhingga kerapatan-nya. Pada beberapa second setelah terjadinya singularitas seluruh alam raya ini tidak lebih dari ukuran sebuah atom yang kerapatannya 1096 kali densitas air. (Steven Weinberg, 1977).

Bagi banyak ulama Islam kontemporer, isyarat tentang teori Big Bang, yang mengawali terjadinya alam semesta ini dapat dipahami melalui interpretasi surah al‑Anbiyā’ [21] ayat 30 yang berbunyi: “Apakah orang‑orang kafir itu tidak mengetahui bahwa langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah satupadu kemudian Kami (Allah) pisahkan keduanya, dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapa mereka tidak juga beriman?”

Ayat al‑Qur’an juga berbicara tentang adanya kekuatan yang mengembangkan alam semesta. “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuatan dan sesungguhnya Kamilah yang meluaskannya.” (Surah Adz‑Dzāriyāt (51): 47)

Tidak ada sedikitpun keberatan yang prinsipil tentang teori Big Bang ini dari sudut pandang agama Islam sejauh penciptaan awal itu dikaitkan dengan kekuasaan dan kebesaran Allah, serta keharusan beriman kepada-Nya.

(b) Apakah Teori Evolusi Merupakan Cara Tuhan untuk Mencipta?

Kita telah sering mendengar perdebatan antara pihak-pihak yang bertentangan tentang kontroversi teori evolusi Darwin. Tapi diantara kedua ekstrim itu sebetulnya banyak juga ilmuwan dan agamawan yang mempercayai keduanya, baik tentang teori Darwin maupun kepercayaan kepada Tuhan. Dari sudut pandang ilmiah, konsep baru tentang complexity and self‑organisation telah digunakan untuk menggambarkan munculnya kehidupan pada tingkat hierarki yang lebih tinggi. Sebagian para ahli menekankan pentingnya peran informasi dalam biologi molekuler dan perkembangan embrio untuk menunjukkan adanya keterkaitan dalam proses itu. Di lain pihak para ahli agama terus menjajagi ide penciptaan alam semesta yang dinamis untuk melihat pertaliannya dengan kehadiran Tuhan di alam nyata (immanent).

Pandangan penganut Intelligent Design (ID) mengasumsikan bahwa organisme hidup merupakan cetak biru (blue print) dari suatu desain yang maha sempurna. Pengamatan yang cermat terhadap organisme hidup menunjukkan kesempurnaan rincian struktur dan fisiologinya sedemikian rupa sehingga tidaklah mungkin hanya merupakan hasil kerja suatu evolusi yang acak (random) saja. Bagi penganut ID, desain yang sempurna tidak mungkin tanpa adanya Perencana Agung (Tuhan).

Di lain pihak penganut teori Darwin menunjukkan bukti‑bukti yang kuat bahwa pada dasarnya organisme hidup dapat menjadi lebih sempurna secara bertahap melalui evolusi yang panjang. Proses adaptasi dan spesialisasi ini berjalan secara halus sesuai dengan asas seleksi alam, yang memungkinkan setiap organisme mewariskan hasil seleksi yang terbaik pada generasi berikutnya. Bagi para penganut teori Darwin, seleksi alam itu sendiri bukanlah suatu proses acak, karena akan memunculkan survival unggul (fittest) dari semua variasi yang tersedia. Pendukung teori Darwin juga mengingatkan bahwa konsep Intelligent Design (ID) yang mendasarkan diri pada kesempurnaan ciptaan tidak sepenuhnya berlaku dalam realitas. Sistem biologi yang kompleks dalam dirinya secara inheren mengandung segi ketidaksempurnaan ciptaan. Dan ciptaan yang tidak sempurna tentunya bukan hasil dari ID.

Jauh sebelum kelahiran teori Darwin, ilmuwan Islam seperti al‑Farabi, Syakir al‑Kutubi dan ibn Kholdun juga membahas faham evolusi yang memandang penciptaan manusia melalui proses dan fase‑fase serta mengakui adanya tingkat‑tingkat tertentu menyangkut ciptaan Allah. Kesimpulan ilmuwan tersebut, tidak sepenuhnya sama dengan rincian teori evolusi Darwin.

Al-Qur’an memang tidak secara rinci menguraikan tentang proses penciptaan Adam, yang oleh mayoritas ulama diyakini sebagai manusia pertama. Al-Qur’an hanya menegaskan bahwa: bahan awal manusia adalah tanah (surah Shād (38): 71); setelah itu bahan tersebut disempurnakan (surat at-Tîn (95): 4); lalu setelah proses penyempurnaannya selesai, ditiupkan kepadanya Ruh Ilahi  (surat al-Hijr (15): 28 ‑ 29 dan surat Shād (38): 72).

Dari sini pula dapat dimengerti pakar tafsir M. Abduh yang menyatakan bahwa seandainya teori Darwin tentang proses penciptaan manusia dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah, maka tidak ada alasan dari al-Qur’an untuk menolaknya. Al-Qur’an hanya menguraikan proses pertama, pertengahan dan akhir. Apa yang terjadi diantara proses pertama dan pertengahan, serta antara pertengahan dan akhir, tidak dijelaskan (Quraish Shihab: Wawasan Al-Qur’an, 1996).

Dalam menjawab issu kontroversial seperti apakah gen manusia menentukan takdirnya, Al-Qur’an memberikan tuntunan seperti dalam surat al-Mu’minun (23): 14: “Selanjutnya, air mani itu Kami olah menjadi segumpal darah. Dan gumpalan darah itu Kami jadikan segumpal daging (embrio). Dari gumpalan daging itu, Kami olah menjadi tulang belulang. Kami bungkus tulang itu dengan daging. Dalam perkembangannya Kami bentuk ia menjadi makhluk yang ‘Lain’ (setelah ditiupkan ruh dan dilengkapi perlengkapan yang amat rumit). Maka Maha Suci Allah, Pencipta Yang Paling Sempurna.

Jadi manusia selain dipengruhi oleh warisan genetikanya(neurosains)
ia juga merupakan pribadi utuh yang bebas berpikir dan berkehendak, sesuai dengan tutunan Tuhannya (melalui ruh yang selaras dengan Al-Quran).