Mobil Listrik Seakan Mati

Mobil Listrik Seakan Mati

zuhal ristek inovasi nasional_artikel mobil listrik

Pembicaraan mengenai mobil listrik akhir-akhir ini sering didengungkan, mantan menteri BUMN Dahlan Iskan adalah orang yang paling semangat atas proyek mobil ramah lingkungan ini.Pemerintah sendiri memang sangat mendukung peralihan menuju mobil berbahan bakar nonfosil ini, meski secara bertahap. Bukan saja mengingat kian tingginya beban emisi karbon, tetapi juga menimbang terus melejitnya beban subsidi BBM yang kini nilainya mencapai Rp165,2 triliun (2011).Namun dalam realitasnya kehadiran mobil listrik di Indonesia belum dapat memenuhi harapan baik dilihat dari aspek teknis maupun non-teknis.

Saat ditanya, apa yang menjadi hambatan berkembangnya mobil listrik ini sehingga hingga saat ini masih belum banyak dipakai di masyarakat umum? Dahlan lalu menjawab, “Tonton saja film Hollywood berjudul ‘Who killed the electric car’. Kurang lebih sama dengan itu,” ujar dia.

Film ini menelusuri penyebab matinya perkembangan mobil listrik di Amerika yang menurut Chris Paine selaku direktur film tersebut diatas, paling tidak ada 5 faktor yang patut diperhatikan. Mereka adalah :

  1. Pihak Konsumen karena dalam pemilihan mobil, konsumen hanya mementingkan daya dan jarak tempuh mobil, tidak memperhatikan segi keekonomisan bahan bakar maupun emisinya.
  2. Teknologi baterai karena belum adanya teknologi baterai yang mumpuni untuk Design Requirement and Objective (DRO) sebuah mobil listirk komersial.
  3. Perusahaan Minyak perusahaan di bidang ini dianggap sebagai biang utama kehancuran mobil listrik ini.
  4. Perusahaan Mobil karena perusahaan mobil berbahan bakar minyak dapat tersaingi disamping karena minimnya perawatan mobil listrik yang berpotensi mematikan bisnis suku cadang.
  5. Pemerintah karena pemerintah(AS) khawatir jika mobil listrik berkembang akan mengancam lebih dari 200.000 karyawan GM dan ratusan ribu karyawan pabrik mobil lainnya.

Kita di Indonesia tidak perlu mengikuti benar kekhawatiran adanya konspirasi faktor-faktor penyebab diatas, karena pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan kita sebagai negara berkembang yang ingin mengejar ketertinggalannya. Yang sangat penting untuk diperhatikan adalah pengembangan yang akan dilakukan tersebut perlu direncanakan secara komperhensif lintas sektoral dalam suatu kebijakan terpadu dan menghindarkan diri dari keinginan bergerak cepat tanpa persiapan seperti dilakukan sekarang ini. Kesiapan para stakeholder untuk berpartisipasi juga harus dipersiapkan dan disinkronisasikan secara matang.

 

Indonesia berpeluang sama besar dengan negara-negara lain untuk sukses di ranah mobil listrik. Teknologi batere tidaklah semapan teknologi mesin internal combustion, di mana Indonesia sudah tertinggal jauh. Bisa dikatakan, sebagian besar industri mobil listrik di dunia berangkat dari titik mulai yang sama. Jepang, pemimpin dunia di bidang ini, baru berada pada skor 2.6 dari skala 5 mengacu survei McKinsey (2012), sementara China 1.5.

Kemunculan mobil listrik ciptaan Dasep Ahmadi, seorang insinyur asal Depok, pada pertengahan 2012 adalah sinyal positif. Secara teknis mobil listrik ini punya sejumlah keunggulan. Jarak 150 km dapat ditempuh dalam sekali periode charging (4-5 jam pengisian penuh atau 30 menit dengan sistem cepat). Diperkuat batere lithium ion 36 buah berkapasitas 21 kWh, mobil ini sangat fleksibel untuk pengisian di rumah dengan tegangan 220 V.“Ahmadi 5.0”, nama mobil listrik ini, telah diujicobakan langsung oleh Menteri Negara BUMN, Dahlan Iskan, dan ditargetkan untuk dijadikan mobil nasional dengan produksi 5.000 hingga 10.000 unit pada tahap awal.

Senada dengan survei McKinsey, mobil karya Dasep Ahmadi diperhitungkan lebih ekonomis. Meski harga on-the-road Rp 200jutaan, tapi biaya operasionalnya diprediksi cuma Rp 50-60 ribu per bulan lantaran tak memerlukan BBM. Luar biasa murah. Namun, itu bukanlah pil mujarab yang membuat mobil ini mampu menggeser dominasi mobil BBM. Dari sisi produksi, mobil listrik “Ahmadi 5.0” ini masih harus mengandalkan 50 persen komponen impor. Padahal tarif pajak pertambahan nilai komponen tersebut mencapai 10 persen. Inilah salah satunya yang membuat harga mobil listrik tersebut cukup tinggi. Pertanyaannya: apakah pemerintah siap memberikan subsidi atau insentif pajak?

Kendala lain adalah ketersediaan infrastruktur pengisian batere. Untuk operasionalisasi mobil listrik, yang harus disediakan bukan saja stasiun pengisian bahan bakar listrik, tetapi juga tempat parkir khusus mobil listrik (untuk charging). Tentu ini akan menuntut sumber daya yang besar dan waktu lama untuk mewujudkannya. Tak mengherankan jika masyarakat lebih memilih kendaraan konvensional lantaran mampu menempuh perjalanan jauh, tanpa dibayangi kecemasan kehabisan bahan bakar.

Secara teknis, terobosan untuk mengatasi persoalan ini adalah menciptakan batere mobil berbasis teknologi nano yang memungkinkan jarak tempuh tinggi (di atas 500kilometer) dengan harga ekonomis. Namun, mengacu prediksi, dibutuhkan waktu 15 hingga 20 tahun hingga batere nano tersebut dapat diproduksi massal guna menggantikan batere konvensional lithium-ion yang mempunyai jarak tempuh terbatas ini.

 

Model Bisnis Agassi

Upaya mewujudkan mobil listrik, tanpa menunggu belasan tahun hingga batere nano menjadi feasible, telah diupayakan sebuah perusahaan inovatif yang bermarkas di California AS, Better Place. Perusahaan ini memang tak menyodorkan solusi radikal keberadaan infrastruktur pengisian batere, menurut mereka, memang mutlak diperlukan. Namun Better Place menawarkan konsep ‘electric recharge grid’, sebuah model bisnis inovatif dalam menjual mobil sekaligus memenuhi kebutuhan pengisian batere.

Shai Agassi, pendiri Better Place, menyadari tingginya harga mobil listrik menyusul besarnya biaya produksi batere. Ia pun mencoba mengubah cara pandang dengan menempatkan batere mobil sebagai bagian dari infrastruktur pengisian batere, bukan bagian dari mobil itu sendiri. Walhasil Agassi mampu memangkas harga mobil listrik 5.000 dolar AS lebih murah ketimbang mobil BBM, namun mengalihkan subsidi tersebut ke dalam skema kontrak ‘pembelian per jarak tempuh’ seperti halnya mekanisme pascabayar atau fixed-plan pada ponsel. Dalam hal ini pembeli mobil listrik akan memperoleh sebuah paket batere mobil yang harus diisi ulang per 160 kilometer dengan siklus isi ulang hingga 2.000kali (diprediksi berumur sekitar 8 tahun). Konsumen kemudian meneken kontrak untuk pengisian batere listrik tersebut di jaringan Better Place melalui mekanisme iuran wajib bulanan (monthly payment).

Sebelumnya SPBU-SPBU listrik akan didirikan oleh BetterPlace di berbagai titik di kota tertentu guna memungkinkan charging batere. Ini akan dikembangkan melalui system franchise, di mana investor perlu menyuntikkan modal sedikitnya 500 ribu dolar AS. Untuk mengisi batere di SPBU, konsumen cukup menunjukkan kartu pelanggan; robot otomatis akan mengisi batere dalam tempo kurang dari dua menit. Piranti lunak cerdas dari Intel dan Microsoft akan mencegah beban berlebih saat peak hours. Singkatnya, konsumen dibuat nyaman. SPBU listrik ini telah diujicobakan dikota Yokohama dan Tokyo, Jepang, dan San Fransisco, AS, dan mencatat sukses.

Pada dasarnya, konsep bisnis Agassi ini memungkinkan beban penyediaan infrastruktur pengisian batere mobil, yang sebelumnya ditanggung oleh produsen mobil, dibagi (shared) dengan konsumen. Ini merupakan sebuah model bisnis infrastruktur baru yang patut diapresiasi. Meski demikian ini belum menjadi solusi sempurna permasalahan utama mobil listrik: keterbatasan jarak tempuh dan ketersediaan/sebaran SPBU listrik.

Selain dapat mengambil pelajaran dari Better Place, Indonesia perlu pula belajar dari China terkait metode introduksi mobil listrik. Di Negeri Tirai Bambu ini gerbang masuk ke penerapan mobil listrik skala massal dilakukan melalui moda transportasi publik (khususnya bus). Bus kota, atau khususnya Bus TransJakarta, beroperasi pada rute yang sudah baku dan memiliki pangkalan terpusat sehingga memungkinkan adanya tempat dan waktu khusus untuk pengisian (charging) batere. Di China, kampanye mobil listrik untuk transportasi umum tercatat lebih sukses ketimbang untuk mobil pribadi. Insentif dan subsidi yang ditawarkan pemerintah melalui program “Ten Cities and Thousand Units Plan” tercatat mampu mendongkrak penetrasi mobil listrik (bus, taksi dan angkutan umum non-bus) sebesar 0,3 persen pada tahun 2011, atau 10 kali lipat ketimbang mobil pribadi.

Mengapa adopsi mobil listrik pada moda transportasi umum diyakini akan membuka jalan bagi aplikasi lebih luas electric vehicle dimasyarakat? Permintaan awal dari pasar komersial akan memungkinkan terciptanya massa kritikal (critical mass) dalam skala produksi mobil listrik dan mengkatalisasi seluruh mata rantai produksi guna meningkatkan kapasitas dan memperdalam kapabilitas produksi. Ini pada gilirannya bakal berdampak pada turunnya biaya produksi, kian baiknya kinerja, dan semakin luasnya ketersediaan infrastruktur pengisian batere.

Untuk membangun pasar mobil listrik di Indonesia, semua stakeholders terkait mesti melakukan penghitungan kembali dan mensinkronkan ekspektasi dan aksi. Pemerintah, industri otomotif, pemasok dan penyedia infrastruktur (dalam hal ini PLN) perlu duduk bersama guna merumuskan strategi yang lebih menukik.