Red:
Setelah tak lagi menjadi pejabat pemerintah sekitar tiga tahun lalu, Profesor Zuhal kini praktis memusatkan perhatiannya pada dunia pendidikan. Ia, antara lain, ikut merintis berdirinya Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Jakarta. Bahkan kemudian ia dipercaya menjadi rektor universitas yang berdiri sejak dua tahun lalu itu. Menurut Zuhal, keberadaan UAI dimaksudkan untuk dapat mencetak saintis-saintis Muslim.
Ini, di antaranya, ditempuh dengan lebih banyak memberi porsi pada bidang sains dan teknologi yang diintegrasikan dengan spirit ilmu-ilmu keislaman kepada para anak didik. ”Ini yang menjadi obsesi kami,” ujar mantan Menristek di masa pemerintahan BJ Habibie ini, Jumat pekan lalu. Selain di UAI, cucu pendiri Persatuan Islam (Persis), A Hassan, ini juga aktif di lembaga The International Islamic Forum for Science, Technology, and Human Resource Development (IIFTIHAR).
Lembaga ini didirikan enam tahun silam oleh enam institusi Islam seperti ICMI, Islamic Development Bank (IDB), Liga Moslem, Lembaga Mukjizat Quran dan Sunnah, Rabithah Alam Al-Islamy, serta International Institute for Islamic Thought (IIIT). Di sini Zuhal dipercaya sebagai Sekjen, sedangkan General Chairman (ketua umum) dijabat oleh BJ Habibie. Pada Jumat-Sabtu (14-15/3) pekan lalu, IIFTIHAR menggelar konferensi internasional dan muktamarnya ke-2 di Jakarta.
Untuk mengetahui urgensi konferensi dan seberapa jauh upaya yang telah dilakukan lembaga itu dalam kaitan pengembangan dan peningkatan penguasaan sains, teknologi, dan sumber daya umat Islam, berikut wawancara Republika dengan pria kelahiran Cirebon, 5 Mei 1941, yang juga menjadi ketua Steering Comitte (SC) konferensi ini:
Apa yang melatarbelakangi diadakannya konferensi internasional di Jakarta ini?
Kami memandang ini momentum penting. Apalagi sejak terjadi tragedi peledakan WTC (World Trade Center New York, 11 September 2001–red) yang implikasinya, langsung maupun tak langsung, mengimbas pada stabilitas Dunia Ketiga yang mayoritasnya merupakan negara-negara berpenduduk Muslim. Tidak adanya stabilitas ini tentu saja akan berdampak pada perkembangan sains, teknologi dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) umat Islam. Konferensi ini merupakan yang keempat kalinya diadakan IIFTIHAR sejak didirikan pada 1996 lalu. Dan kebetulan pula, council meeting (pertemuan tahunan antar perwakilan IIFTIHAR)) ini bertepatan dengan muktamar (general asembly) yang ke-2, yang digelar 5 tahun sekali.
Selain itu, hajatan ini dilaksanakan untuk merespon the current issues (isu-isu mutakhir) antar-budaya, ketegangan antar-etnis, agama, dan seterusnya. Karena itulah acara ini mengambil tema sentral ‘Menjembatani Ketegangan-ketegangan Melalui Kerjasama Lintas Budaya dan Agama dalam Bidang Sains, Teknologi, dan Pengembangan SDM’. Inilah salah satu misi utama IIFTIHAR, yakni menjembatani ketegangan-ketegangan atau gap tadi. Karena itu, IIFTIHAR ada di Eropa, Amerika, Afrika, Asia, dan Australia. Ini yang membedakan dengan OKI (Organisasi Konferensi Islam), yang hanya memiliki komisi sains dan teknologi terbatas di negara-negara Islam (negara anggotanya) saja.
Tapi terkesan gerakan yang dilakukan IIFTIHAR kurang ‘bergaung’, tidak seperti lembaga Islam internasional lainnya, semacam OKI misalnya?
Memang begitu. Karena kita melakukan agenda-agenda jangka panjang, memberikan nilai-nilai. Lihat misalnya tema-tema konferensi ini. Sains dan teknologi itu kan tidak jangka pendek, tapi jangka panjang. Seperti yang ditegaskan tadi, kalau orang itu lapar misalnya, cukup makan dua biji kurma atau sepiring nasi. Tapi kalau lapar atau miskin identitas diri, harga diri, itu semua kan masalah etik dan moral.
Kalau hanya sekadar lapar, mengapa orang itu menyelesaikannya dengan korupsi? Jadi bangsa ini sudah sangat jauh meninggalkan nilai-nilai etik. Seperti ditegaskan Pak Habibie tadi, bangsa Indonesia harus menyadari semua ini. Jangan kalau ada orang berpotensi, unggul, lantas ‘dibunuh’ dia, tapi harus kita saingi dia agar kita bisa lebih unggul dari orang itu. Ini tantangan etik dan moral, bagaimana kita mampu memberikan nilai-nilai itu dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jadi kalau kita mau unggul secara ekonomi, kita harus menempuhnya melalui sains, teknologi, dan human resource (SDM). Sains dan teknologi itu tak hanya komputer, kapal terbang dan seterusnya, tapi managemen, beragama, dan lain-lain itu juga sains. Semua yang memberi nilai tambah kemajuan itulah sains dan teknologi. Inilah yang menjadi inti agenda IIFTIHAR.
Sumber daya umat Islam selama ini memprihatinkan, kalah bersaing dengan kalangan lainnya. Apa faktor ketertinggalan tersebut?
Faktanya memang begitu. Kalau merujuk pada Human Development Index (HDI), Indonesia menempati urutan ke-110 dari 160 negara yang disurvei UNDP. HDI itu kombinasi pendidikan, sains teknologi, ekonomi, dan kesehatan, ini ditotal ketemulah jumlah peringkat itu. Malaysia menempati urusan ke-50. Vietnam saja yang baru merdeka lima tahun lalu berada di atas kita, di urutan ke-109. Jadi ya segitu kualitas kita.
Mengapa bisa terjadi?
Karena poverty (kemiskinan yang akut) yang dialami bangsa Indonesia. Krisis telah menyebabkan itu semua. Bukan karena otaknya orang Indonesia itu tidak mampu bersaing, kurang cerdas. Perguruan tinggi Indonesia seperti ITB, UGM, UI dan lainnya yang tadinya berada di rangking 25, kini berada di atas peringkat 60 dari 100 universitas ternama dunia. Bukan karena otaknya orang ITB, UI dan lainnya tidak pintar dan cerdas, tapi karena krisis membawa kita tidak berhasil mengembangkan permasalahan pendidikan, ya sains, teknologi, SDM dan seterusnya.
Jadi sangat rendah kita. Yang di bawah garis kemiskinan ada 40 juta orang, belum lagi yang tak memiliki kerja dan sebagainya. Kita miskin sekali. Padahal sebagai umat Islam, seperti yang dibilang Pak Habibie tadi, kita memiliki comparative advantage (keuntungan komparatif), seperti sumber daya alam yang orang lain tidak punya, banyaknya buruh dan lain sebagainya. Tapi, banyaknya comparative advantage itu tidak mungkin secara kuat membuat kita bersaing secara global kalau tidak meningkatkan kompetitif.
Sumber alam kita luar biasa besarnya, tapi itu comparative advantage tidak bisa kita olah menjadi competitive advantage, atau proses nilai tambah (keuntungan kompetitif). Karena itulah, saya melihat, kita tidak akan menghasilkan sesuatu kalau kita tidak memiliki motivasi, yakni daya dorong dan daya gerak. Bangsa Indonesia bukan karena bodoh tapi karena tidak memiliki daya gerak. Inilah yang harus kita tumbuhkan di kalangan umat Islam.
Apa hal ini terkait pemahaman umat Islam yang lebih mementingkan aspek ritual?
Begini. Selain persoalan-persoalan yang diungkapkan tadi, tak hanya terkait soal agama, tapi juga menyangkut masalah budaya. Sistem ilmu pengetahuan dan teknologi itu akan dapat berkembang kalau dia dapat kompatibel dengan budaya. Nah, Islam itu sebetulnya sangat kompatibel, karena Islam itu kan ‘Laa Ilaaha Illallah wa Muhammad Rasulullah’. Artinya dia tidak ada dogma, dan manusia yang percaya dengan kalimat tadi adalah manusia yang merdeka.
Sains dan teknologi itu hanya mungkin di dalam satu sistem yang merdeka jiwanya, karena dia tidak menghambakan kepada siapapun kecuali kepada Allah semata. Ini kan kompatibel dengan Islam. Sayangnya bangsa ini masih diselimuti dengan tradisi-tradisi lama yang seolah-olah Islam tapi sebenarnya itu mistik-mistik dan dogma yang membelenggu. Ini memang terkait dengan pola pemahaman umat Islam yang selama ini lebih mengedepankan ritual dan simbol-simbol.
Budaya bangsa kita itu juga selalu melihat ke belakang. Memang tak ada salahnya bila dinilai sebagai pelajaran, tapi yang terjadi kan sebaliknya. Selalu membanggakan apa yang pernah diraih di masa lalu. Ini tidak efektif. Padahal untuk menciptakan produktifitas yang tinggi, diperlukan cakra-pandang luas ke depan. Ini lagi-lagi pangkalnya kembali ke soal pendidikan. Pendidikan bukan saja di sekolah, tapi pendidikan dalam arti yang luas tentunya. Jadi dari soal budaya, pendidikan dan lainnya itu harus kita rekonstruksi. Memahami dan kembali kepada prinsip Islam yang benar itu akan memudahkan penyelesaian masalah.
Lalu bagaimana strategi konkrit untuk mengakhiri semua dilema ini?
Harus melakukan lompatan mendasar, khususnya berkaitan dengan ekonomi, politik, pendidikan, dan budaya. Ini semua harus kompak bila ingin mengakhiri kompleksitas problem yang ada. Nah, kita itu belum ada kekompakan itu. Ini kita bicara bagaimana dapat memberi nilai tambah bagi masa depan kemajuan bangsa ini. Dan ini mudah dilakukan dengan syarat masalah etik tadi. Kita harus senang melihat ada orang maju, tidak malah menyingkirkan.
Ada satu saja orang unggul, langsung dibunuh. Bangsa ini sama sekali tidak punya etik. Agama kita ini ajaran dasarnya kan masalah etik. Lihat Muhammad SAW yang diutus hanya untuk menyempurnakan moral manusia. Ini begitu jelas dan gamblang. Jadi kembali ke masalah moral. Ini nilai yang akan mendasari langkah dan kerja besar meraih kesejahteraan bangsa. Tapi di atas segalanya itu, kita harus kembali pada ajaran Islam.
Penulis : Hery Sucipto
REPUBLIKA – Jumat, 21 Maret 2003